Jumat, 17 Mei 2013

Retorika kebebasan di kontes kecantikan Miss World

Retorika secara dalam ilmu komunikasi bisa diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki pembicara untuk mempengaruhi khalayak atau pendengar. Secara gari besar ada tiga tujuan utama komunikasi yaitu memberikan informasi, menghibur dan membujuk atau persuasi. Di tujuan yang terakhir inilah retorika berperan penting yakni untuk mempengaruhi, membujuk dan akhirnya merubah pola pikir khalayak persis seperti yang diinginkan oleh pembicara (tak hanya pembicara tapi secara luas media adalah pembicara dengan khalayak yang besar). Lalu apa hubungan antara retorika dalam hal ini jargon kebebasan dengan isu-isu yang akhir-akhir ini marak seperti kontes Miss World?

Kontes kecantikan apapun itu namanya mulai dari tingkat dunia seperti Miss Word, Miss Universe ataupun tingkat negara seperti Putri Indonesia seolah-olah menjadi ajang kontes yang biasa dan wajar. Padahal jika kita telisik lebih lanjut kontes semacam ini memiliki banyak agenda dan kepentingan, mulai dari penjualan produk-poduk kecantikan atau apapun yang berperan menambah kecantikan (ini agenda utama kapitalisme dimana keuntungan bisnis dinomor satukan) dan juga merubah pola pikir dan brainwashing terhadap masyarakat tentang arti kecantikan yang pada ujungnya adalah kerusakan moral bangsa.

Berawal dari sebuah pertanyaan, salahkah penyelenggaran kontes kecantikan semacam Miss World ini?dari sudut pandang Islam tak ada lagi pertentangan, bahwa kontes semacam ini terlarang karena  menjadi ajang kompetisi membuka aurat dan penyebaran paham-paham kecantikan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tapi disini kita coba melihat dari sudut pandang lain karena bagi sebagian orang hal ini tidak salah karena merupakan ajang kompetisi para perempuan, toh tidak hanya kecantikan yang diukur tetapi juga kecerdasan,kemampuan sosial dan cara berkomunikasi.Tetapi jika ditelisik sesungguhnya kontes semacam ini merupakan propaganda yang nyata untuk mengukung dan membatasi makna kecantikan, sesuatu yang berbeda dengan jargon-jargon kebebasan mereka para pendukung kontes ini seperti kaum liberal, para feminis, dan terlebih mereka yang berkepentingan secara ekonomi meraup untung besar dalam penyelenggaraan kontes semacam ini.

Kecantikan seperti juga kebahagiaan dan kesuksesan pada mulanya adalah ruang privat dimana setiap individu mempunyai gagasan dan defini tentang kecantikan yang berbeda. Cantik menurut satu orang bisa jadi berbeda menurut orang lain. Tapi lihatlah bagimana media dengan kapitalisme dibelakangnya, merubah hal ini. Hal-hal yang semula privat dirubah menjadi ruang publik dimana kecantikan itu memiliki syarat-syarat tertentu, misalnya untuk menjadi cantik harus memiliki kulit yang putih, bebas jerawat, harus bermake up dan sebagainya. Iklan-iklan yang masiv tentang kecantikan dengan segala produk pendukungnya tentu membuat berbagai produk itu laris manis dan bahkan sudah menjadi kebutuhan premier para perempuan. Untuk tampil cantik kita harus memakai produk A, meminum produk B atau harus berpakaian seperti model C. Kita tidak bisa cantik ala sendiri karena cantik itu sudah memiliki definisi sendiri yang diciptakan oleh media.

Perubahan definisi cantik ini yang semula privat menjadi didominasi hal-hal yang sifatnya fisik selain menjadi ajang penjualan produk kapitalisme, disisi lain mengurangi esensi penting yang sesungguhnya dari kecantikan itu sendiri. Saat kecantikan fisik diutamakan bahkan dilombakan, kecantikan batin yang nampak dari kepribadian yang menarik dan akhlak yang mulia tidak lagi menjadi tolak ukur kecantikan yang sesungguhnya. Padahal disinilah letak tugas dan keunggulan utama manusia. Jadi jika kontes-kontes kecantikan semacam ini menjadi simbol dari kebebasan para perempuan utamanya, patut ditanyakan kebebasan apakah yang ditawarkan? saat para perempuan berkompetisi dengan kriteria yang sudah dibuat sedemikian ketat, utamanya menyangkut fisik, dan para perempuan ini harus  tunduk dan taat pada keputusan juri yang mungkin sebagian besar adalah lelaki. Disaat untuk menentukan kecantikan sendiri kita harus tunduk pada kriteria orang lain, apakah itu disebut kebebasan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar