Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke Ibukota dengan kereta. Duduk di sebelah saya seorang bapak yang kira-kira berumur 30-an dan dari ciri fisik seperti berasal dari wilayah Indonesia timur. Dalam perjalanan kami pun mulai saling berkenalan dan berbincang-bincang. Sebut saja bapak A.Ternyata beliau seorang dosen di sebuah kampus swasta di Jayapura. Beliau ada keturunan dari keluarga Bugis, ternyata memang dari dulu para pelaut dari Bugis telah banyak menyebar ke seluruh penjuru nusantara.Beliau lulusan dari Fak Kedokteran UGM dan mengambil master juga di Fak yang sama dengan spesialis manajemen kesehatan.
Kami berbincang tentang banyak hal. Nostalgia tentang bagaimana suasana UGM dan Jogja di akhir tahun 80-an dan awal 90-an. Bagimana UGM dulu dan sekarang yang jauh berbeda. Memang perubahan adalah keniscayaan dan ga bisa kita lawan. Tetapi bagaimana jika perubahan itu tidak selalu ke arah kemajuan? ya bagaimanapun juga arti kata kemajuan itu sendiri pun mungkin bisa berbeda. Kemajuan menurut para birokrat atau pembuat kebijakan bisa jadi berbeda dengan kemajuan menurut orang kebanyakan.Saya yang waktu itu masih kecil dengan seorang kakak yang juga kuliah di kedokteran UGM pun dengan keterbatasan pengetahuan saya waktu itu dan suasana pedesaan pun merasa terheran-heran,takjub sekaligus bangga dengan UGM, seperti bangganya Ayah saya kala bercerita tentang kehebatan UGM dan kekaguman itu semakin bertambah kala saya berkunjung kesana. Saya yang anak desa,jarang sekali melihat gedung-gedung, ikut merasakan bagaimana kebanggaan keluarga kami waktu itu karena kakak saya bisa melanjutkan kuliah di kampus biru itu. Rasa yang sama dan keinginan untuk tidak mau kalah dengan kakak akhirnya juga membuat saya akhirnya walaupun dengan susah bisa kuliah juga di kampus yang sama. Perbedaan tentang bagaiman suasana pembelajaran di masa itu dan sekarang sungguh jauh berbeda. Roda-roda globalisasi melindas siapapun yang coba menentangnya. Pendidikan yang merupakan gerbong perubahan dan kemajuan mau tak mau juga harus berubah. Berbicara tentang pendidikan merupakan salah satu hal yang saya sukai dan mungkin soal ini akan saya tulis lain kali.
Kami juga berbicara bagaimana perbedaan pembangunan di satu daerah dengan daerah lain. Apalagi untuk daerah Indonesia timur yang mungkin kita mafhum dengan kata-kata ketertinggalan atau kemiskinan yang seoalah-olah lekat. Mungkin perbedaan itu mulai terkikis seiring munculnya otonomi daerah. Masa orde yang lalu yang sentralistik memang telah mengabaikan jeritan-jeritan mereka anak daerah yang menginginkan keadilan dan kesetaraan. Mereka yang bumi dan tanahnya kaya raya dirampas hak-haknya untuk menikmati hasil dari sumber daya alam yang melimpah. Masyarakat Papua denga sumber daya alam yang mereka miliki seharusnya menjadi daerah dengan pendapatan tertinggi di negeri ini. Untuk pendidikan, di Papua yang begitu luasnya hanya ada satu Universitas yang mempunya fakultas kedokteran dan itu berada di Jayapura. Itupun baru berdiri beberapa tahun yang lalu. Yang jadi pertanyaan dibenak saya apakah yang dilakukan pemerintah di masa lalu? kenapa salah satu hak warga negara memperoleh pendidikan dan kesehatan begitu tidak diperhatikan? Pantas saja kalo banyak kalangan dari mereka yang tidak puas dan menginginkan kemerdekaan. Tidak ada asap kalau tidak ada api.
Satu hal lagi tentang budaya di Papua. Saya diceritakan mengapa Papua menjadi daerah dengan peningkatan ODHA yang paling tinggi se-Indonesia. Budaya seks bebas dan pesta tentu dengan mabuk-mabukkan adalah satu hal yang sedemikian biasa disana. Bahkan dikalangan kaum muda - mereka yang sedang duduk dibangku sekolah - berganti-ganti pasangan adalah hal yang lumrah. Yang paling mengherankan kata beliau, para pemain salah satu klub sepakbola yang terkenal di Indonesia yang bermarkas di Jayapura menjadi favorit dan kebanggan para gadis untuk dikencani. Mereka akan dengan bangganya bercerita bahwa mereka telah berkencan dengan pemain A atau pemain B. Dan hal ini sudah nge-trend di kalangan remaja sehingga susah untuk merubah pandangan itu. Kita tahu beberapa waktu yang lalu pemerintah mengkampanyekan penggunaan kondom dikalangan remaja, bahkan lewat kampanye di sekolah. Hal itu dilakukan untuk mencegah semakin tingginya angka ODHA di negeri ini. Pemerintah seakan hanya mau cara cepat yang tidak efektif dan tidak kepada akar sumber masalah yang sebenarnya.
Kami mengambil benang merah dari apa yang kami perbincangkan malam itu. Perbedaan pembangunan,budaya dan pendidikan antara daerah adalah masalah umum. Kenyataan bahwa masih ada permasalah dibirokrasi kita adalah hal yang nyata. Betapa pengambilan keputusan sering tidak melalui penelitian yang mendalam tentang apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Manusia bukan robot yang bisa dikalkulasi dengan angka-angka. Keberhasilan satu program di satu daerah tidak menjamin akan suksesnya program itu di daerah yang lain. Saya menyadari mungkin disinilah letak perbedaan dan sudut pandang saya yang belajar dan lama di fakultas ilmu sosial dengan mereka dari kalangan eksak.Malam semakin larut dan mata pun semakin berat. Akhirnya kami mengakhiri obrolan untuk sekedar bisa memejamkan mata dan membunuh kebosanan diatas guncangan kereta tua peninggalan jepang ini.
Kami berbincang tentang banyak hal. Nostalgia tentang bagaimana suasana UGM dan Jogja di akhir tahun 80-an dan awal 90-an. Bagimana UGM dulu dan sekarang yang jauh berbeda. Memang perubahan adalah keniscayaan dan ga bisa kita lawan. Tetapi bagaimana jika perubahan itu tidak selalu ke arah kemajuan? ya bagaimanapun juga arti kata kemajuan itu sendiri pun mungkin bisa berbeda. Kemajuan menurut para birokrat atau pembuat kebijakan bisa jadi berbeda dengan kemajuan menurut orang kebanyakan.Saya yang waktu itu masih kecil dengan seorang kakak yang juga kuliah di kedokteran UGM pun dengan keterbatasan pengetahuan saya waktu itu dan suasana pedesaan pun merasa terheran-heran,takjub sekaligus bangga dengan UGM, seperti bangganya Ayah saya kala bercerita tentang kehebatan UGM dan kekaguman itu semakin bertambah kala saya berkunjung kesana. Saya yang anak desa,jarang sekali melihat gedung-gedung, ikut merasakan bagaimana kebanggaan keluarga kami waktu itu karena kakak saya bisa melanjutkan kuliah di kampus biru itu. Rasa yang sama dan keinginan untuk tidak mau kalah dengan kakak akhirnya juga membuat saya akhirnya walaupun dengan susah bisa kuliah juga di kampus yang sama. Perbedaan tentang bagaiman suasana pembelajaran di masa itu dan sekarang sungguh jauh berbeda. Roda-roda globalisasi melindas siapapun yang coba menentangnya. Pendidikan yang merupakan gerbong perubahan dan kemajuan mau tak mau juga harus berubah. Berbicara tentang pendidikan merupakan salah satu hal yang saya sukai dan mungkin soal ini akan saya tulis lain kali.
Kami juga berbicara bagaimana perbedaan pembangunan di satu daerah dengan daerah lain. Apalagi untuk daerah Indonesia timur yang mungkin kita mafhum dengan kata-kata ketertinggalan atau kemiskinan yang seoalah-olah lekat. Mungkin perbedaan itu mulai terkikis seiring munculnya otonomi daerah. Masa orde yang lalu yang sentralistik memang telah mengabaikan jeritan-jeritan mereka anak daerah yang menginginkan keadilan dan kesetaraan. Mereka yang bumi dan tanahnya kaya raya dirampas hak-haknya untuk menikmati hasil dari sumber daya alam yang melimpah. Masyarakat Papua denga sumber daya alam yang mereka miliki seharusnya menjadi daerah dengan pendapatan tertinggi di negeri ini. Untuk pendidikan, di Papua yang begitu luasnya hanya ada satu Universitas yang mempunya fakultas kedokteran dan itu berada di Jayapura. Itupun baru berdiri beberapa tahun yang lalu. Yang jadi pertanyaan dibenak saya apakah yang dilakukan pemerintah di masa lalu? kenapa salah satu hak warga negara memperoleh pendidikan dan kesehatan begitu tidak diperhatikan? Pantas saja kalo banyak kalangan dari mereka yang tidak puas dan menginginkan kemerdekaan. Tidak ada asap kalau tidak ada api.
Satu hal lagi tentang budaya di Papua. Saya diceritakan mengapa Papua menjadi daerah dengan peningkatan ODHA yang paling tinggi se-Indonesia. Budaya seks bebas dan pesta tentu dengan mabuk-mabukkan adalah satu hal yang sedemikian biasa disana. Bahkan dikalangan kaum muda - mereka yang sedang duduk dibangku sekolah - berganti-ganti pasangan adalah hal yang lumrah. Yang paling mengherankan kata beliau, para pemain salah satu klub sepakbola yang terkenal di Indonesia yang bermarkas di Jayapura menjadi favorit dan kebanggan para gadis untuk dikencani. Mereka akan dengan bangganya bercerita bahwa mereka telah berkencan dengan pemain A atau pemain B. Dan hal ini sudah nge-trend di kalangan remaja sehingga susah untuk merubah pandangan itu. Kita tahu beberapa waktu yang lalu pemerintah mengkampanyekan penggunaan kondom dikalangan remaja, bahkan lewat kampanye di sekolah. Hal itu dilakukan untuk mencegah semakin tingginya angka ODHA di negeri ini. Pemerintah seakan hanya mau cara cepat yang tidak efektif dan tidak kepada akar sumber masalah yang sebenarnya.
Kami mengambil benang merah dari apa yang kami perbincangkan malam itu. Perbedaan pembangunan,budaya dan pendidikan antara daerah adalah masalah umum. Kenyataan bahwa masih ada permasalah dibirokrasi kita adalah hal yang nyata. Betapa pengambilan keputusan sering tidak melalui penelitian yang mendalam tentang apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Manusia bukan robot yang bisa dikalkulasi dengan angka-angka. Keberhasilan satu program di satu daerah tidak menjamin akan suksesnya program itu di daerah yang lain. Saya menyadari mungkin disinilah letak perbedaan dan sudut pandang saya yang belajar dan lama di fakultas ilmu sosial dengan mereka dari kalangan eksak.Malam semakin larut dan mata pun semakin berat. Akhirnya kami mengakhiri obrolan untuk sekedar bisa memejamkan mata dan membunuh kebosanan diatas guncangan kereta tua peninggalan jepang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar